"Hey! I'm Eggy. Thank's for visiting ga je Blog! Please have a seat and make yourself comfy while reading my blog."

Jumat, 29 November 2013

Narsis Dulu Biar Gak Jenuh

Yo! Ketemu lagi ama gue. Ya ketemulah, inikan blog gue. Kali ini gue cuma mau pamer poto aja kok. Yoi, pamer, gue kan orangnya sombong. Dan gue bangga. Jarang-jarang gue bisa sombong hahaha.

Jadi, beberapa hari lalu gue dan salah dua sahabat gue namanya Bibil ama Andri, pergi ke rooftop mall Bekasi Square buat poto-poto. Yap, gue ama temen-temen gue ini emang orangnya yang narsis. Dan gue bangga. Okay, cukup dengan kata-kata 'dan gue bangga', gue muak bacanya. Awalnya sih karena jenuh ama tugas kuliah, apalagi Bibil, sibuk ngurusin filsafat ini, filsafat itu, observasi ini, observasi itu. Yah, namanya juga anak psikolog. Gue sebagai anak manajemen jadi ngerasa beruntung karena tugas kuliahnya gak seribet anak psikolog. Gue gak bilang kuliahnya anak manajemen itu gampang ya, gue cuma bilang gak seribet anak psikolog. Jadi anak manajemen itu juga sebenernya repot loh, mata kuliahnya bercabang-cabang. Ada manajemen keuangan, manajemen pemasaran, manajemen sumber daya alam, manajemen sumber daya manusia, manajemen operasional, manajemen produksi, manajemen IT, manajemen hati, manajemen ini, manajemen itu, aaaaaaaaaakkk cukup!!!! Bisa pecah kepala gue ini nginget-nginget gituan. Siapa yang mulai ngomongin kuliah sih? Elaaaaaah!!!. Oh iya, gue yang mulai.

Okay, balik lagi kita. Jadi, malem sebelom poto-poto gue ngajak Bibil ama Andri buat refreshing murah seharian. Gue langsung bikin konsep yang sederhana, biar poto-potonya asik. Sebenernya agak gak berkonsep juga sih, cuma gue maunya kita poto-poto pake topeng kepalanya Danbo. Taukan? Itulooooh boneka kardus kecil yang unik banget itu. Ya pokoknya itulah. Jadi setelah sepakat ama konsepnya, gue pun langsung nyari kardus buat di jadiin topeng Danbo. Malem-malem.

Besok paginya, gue beli kertas karton coklat buat ngebungkus kardusnya dan karton item buat bikin mukanya. Setelah beli karton, gue langsung ke rumah Bibil buat minta bantuan bikin topeng. Sempet ditanyain "mau minta sumbangan dimana gy?" ama nyokapnya Bibil gara-gara gue dateng kerumahnya pagi-pagi sambil bawa kardus, gue cuma bisa cengengesan.

Setelah topengnya beres, gue pun pulang, mau nyiapin barang-barang lain yang mesti dibawa. Sekitar jam 2 siang gue berangkat ngejemput Bibil naik mobil yang penuh dengan barang-barang yang 'kayaknya perlu' dibawa. Sedangkan Andri lebih milih buat ketemu langsung di sana.

Gak lama kemudian, gue ama Bibil sampe di lokasi. Perjalanan bener-bener lancar, gak macet sama sekali. Tumben.

Gue pun, ngetes-ngetes kamera sebelom mulai. Alasannya sederhana. Biar keliatan keren. Yep, lo gak salah baca. Setelah puas keren-kerenannya, maksud gue ngetesnya, kita pun langsung eksekusi. Satu! Duaaa!! Jebret!!!!! eh, Jepreeeeettt!!!!!!!

Sabtu, 23 November 2013

Franklyn (Cerpen)



          “Franklyn! Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Hugo dari kejauhan.
          "Cepat ambil busurmu dan ikutlah berburu bersama kami di hutan!!” Suara Ralf lantang memanggil pemuda bertubuh tambun yang sedang asyik memandangi langit pagi ini.
          “....” Pemuda tambun itu tak menjawab. Dia masih berbaring di atas bukit kecil dekat hutan pinus.
          “Franklyn, ayolah! Kau sudah berada di sana sejak matahari terbit.” Ralf masih menunggu jawaban.
          “Tidak Ralf, kalian bertiga saja yang pergi! Aku tidak ingin berburu!” Franklyn menjawabnya dengan tenang. Tak sedikit pun ia menoleh kearah sahabat-sahabatnya. Kedua bola matanya masih terpaku menatap langit biru yang amat cerah.
          Ralf, sahabatnya yang bertubuh tegap itu memberi isyarat kepada Hugo dan Fulvian untuk bersiap memasuki hutan. Mereka mengangkat kantong anak panah dan sebuah ransel yang telah mereka siapkan. Dengan busur di tangan dan belati yang terselip di pinggang, mereka bertiga terlihat benar-benar siap untuk berburu.
          “Haaah, selalu saja seperti itu.” Fulvian mengikuti langkah Ralf sambil mendengus. Bosan mendengar jawaban yang sama setiap kali mengajak Franklyn pergi berburu.
          “Ya, semoga traumanya itu cepat hilang.” Hugo setengah berharap.
          Santai, tenang, tidak suka hal rumit dan melelahkan. Seperti itulah Franklyn. Dia lebih senang berada di desanya itu daripada harus mengikuti sahabat-sahabatnya pergi berburu. Dia juga sangat mengagumi desa yang berdiri dengan anggun di atas tanah Skandinavia itu. Menikmati keindahan alam desanya yang berkarpetkan rumput hijau, berhiaskan bunga-bunga kecil berwarna kuning yang bertaburan di atasnya. Berbatasan dengan hutan pinus di sisi timurnya dan sungai yang mengalir tenang di sisi baratnya. Dengan latar belakang pegunungan yang melintang dari utara sampai ke timur laut, alam desa itu semakin terlihat indah. Tak jarang Franklyn mengeluarkan selembar kanvas dan beberapa kuas kesayanganya untuk melukis keindahan alam desanya yang kadang dibuatnya sangat indah dan dramatis.
          Terkadang, jika sedang libur dari pekerjaannya di bar, ia berbaring di atas rerumputan hijau dekat sungai, memandang langit sambil meniup seruling yang selalu dibawanya kemana pun ia pergi. Melukiskan keindahan alam dengan nada-nada merdu yang keluar dari serulingnya itu.

          “Hai Franklyn!” Seorang gadis berparas cantik dan berambut coklat panjang mengejutkan Franklyn.
          “Oh, hai Bonnie.” Franklyn tersenyum ramah pada gadis cantik itu.
          Bonnie adalah salah seorang teman baik Franklyn sejak kecil, sama seperti Ralf, Fulvian dan Hugo. Bonnie menjadi satu-satunya perempuan dalam lingkup persahabatan mereka.
          “Apa yang sedang kau lakukan? Mana Ralf dan yang lainnya?” tanya gadis cantik itu dan duduk di sebelah Franklyn.
          “Seperti biasa, mereka pergi berburu ke dalam hutan dan aku melepas lelah setelah seminggu penuh bekerja di bar milik ayahmu itu hahaha,” jawab Franklyn sambil tersenyum.
          Bonnie membalas senyuman sahabatnya itu dengan hangat.
          “Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Franklyn.
          “Aku dari pasar, belanja sayuran, tapi saat perjalanan pulang aku melihatmu dari kejauhan, jadi aku ke sini,” jelas Bonnie. “Mana Ralf, Fulvian dan Hugo?”
          “Ke hutan, pergi berburu.”
          “Berburu? Mmm, sepertinya aku tidak pernah melihatmu pergi berburu bersama mereka, tak pernahkah kau pergi berburu berasama mereka?” kata Bonnie pelan kepada Franklyn.
          “Pernah, hanya sekali, tapi tidak bersama mereka, haha.”
          “Lalu, kenapa kau tidak pernah berburu lagi?” tanya Bonnie sambil mendudukan diri di sebelah Franklyn.
          “Saat itu, aku menyusul Ralf ke dalam hutan untuk berburu dengan mengikuti jejak mereka.”
          “Kau bisa membaca jejak?”
          “Ya, walaupun tak sebaik Ralf dan Hugo hahaha,” Franklyn tertawa dan mendudukan tubuh gemuknya di sebelah Bonnie. “Saat ditengah hutan, aku menemukan seekor rusa yang sangat anggun, lengkap dengan tanduk indahnya yang bagaikan sebuah mahkota.” Ia mulai bercerita.

Tragedi Rumah Resti

Yokattaaaa!! Akhirnya gue balik lagi, setelah hampir sebulan dilanda kejenuhan dan kehabisan kuota modem hahaha. Sorry banget kemaren-kemaren gue ngilang dari dunia blog. Selama gue gak nongol di sini atau di Fachry | Photograph, kerjaan gue cuma nonton anime One Piece hahahaha.

Hmm, untuk post kali ini gue mau cerita aja deh ya, kali aja bisa ngehibur. Aamiiin. Udah lama juga gue gak cerita-cerita lagi kan? Hahaha.

Punya pengalaman yang gak enak ama anjing liar? Gue punya. Dulu waktu gue awal-awal masuk SMA, jaman-jamannya gue masih kurus. Kok gitu mukanya? Kenapa? Gak percaya gue pernah kurus?!!!!! Oke lanjut. Gue ama Maski (salah satu temen gue) masih memperkosa gitar dengan brutal gitaran di kamar gue. Waktu itu sekitar jam 7 malem kalo gak salah. Tiba-tiba, Maski keinget sesuatu. Dia harus setor tugas ke Resti (temen gue juga, cewek). Ya biasalah, pembagian tugas kelompok. Jadi, malem itu juga gue nganter Maski kerumah Resti yang jaraknya gak terlalu jauh dari rumah gue. Dengan motor bebek yang kotornya minta ampun, gue ama Maski melesat di bawah cahaya bintang, menembus dinginnya angin malam. Oke, ini kalimat terlalu homo, gue jadi jijik sendiri bacanya.

Sampe depan gang rumah Resti, ada anjing begeng, dekil, duduk ditengah-tengah gang. Mungkin dia mau bunuh diri karna terlilit kutang, eh, hutang. Gue ama Maski lewat dengan cool, gak peduli ama anjing itu. Gak jauh dari mulut gang tempat anjing itu ngedeprok, kita sampe di depan rumah Resti. Sekitar 10 menit lebih kita nungguin Resti, tapi dia gak keluar sama sekali, gak ada jawaban apa-apa. Gue ama Maski masih tetep nungguin dengan muka pongo. 5 menit kemudian, kita baru sadar kalo kita belom manggil atau sms Resti sama sekali. Gak lah, kita gak se-idiot itu.

We fight back